Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) secara resmi meluncurkan nama baru BPR, yang berubah menjadi Bank Perekonomian Rakyat, dari sebelumnya bernama Bank Perkreditan Rakyat.
Ketua Umum DPP Perbarindo Tedy Alamsyah mengatakan, perubahan nama ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang telah disahkan pada 12 Januari 2023 lalu.
“Dengan nama baru ini, kami yakin dapat lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat, pelayanan terhadap UMKM, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia,” kata Tedy seperti dikutip dari Antara, Minggu (28/5/2023).
Dalam UU tersebut, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) juga berubah menjadi Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS).
Ia menjelaskan, terdapat beberapa poin penting dalam UU P2SK, yang menguatkan posisi BPR/ BPRS dalam industri.
Yakni perubahan nama bisa meningkatkan awareness masyarakat terhadap BPR/ BPRS, sehingga, fungsi intermediasi bisa berjalan lebih optimal.
Lalu, perluasan fungsi dan peran BPR/ BPRS dengan menghadirkan layanan dan produk berbasis teknologi.
“Dalam UU ini, usaha BPR BPRS ditambahkan beberapa poin, salah satunya bisa melakukan penyertaan kepada lembaga pengayom,” ujarnya.
Kemudian, BPR/ BPRS bisa membeli jaminan debitur yang bermasalah, baik sebagian maupun seluruhnya, dan BPR/ BPRS bisa melangsungkan Initial Public Offering (IPO) atau Go Public.
Serta bisa lebih menguatkan dan meningkatkan sinergi dengan bank umum untuk melayani UMKM.
Tedy menuturkan, aksi korporasi berupa Initial Public Offering (IPO) merupakan peluang bagi BPR untuk mendapatkan dana murah.
“BPR/ BPRS bisa melakukan Go Public (IPO). Ini tentu merupakan peluang untuk mendapatkan pendanaan murah,” ujarnya. Ia menyebut, industri BPR/ BPRS saat ini berperan cukup strategis dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam mendorong perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Dengan pertumbuhannya yang pesat, pihaknya memastikan saat ini sudah terdapat beberapa BPR/ BPRS yang berencana ingin melangsungkan IPO atau menjadi perusahaan Go Public.
“Industri ini tumbuh dengan begitu pesat, dan untuk yang akan Go Public pasti ada. Saat ini sudah ada ruang keleluasaan dari regulator untuk terus mendukung BPR berkembang dengan Go Public. Untuk itu, BPR harus berubah dan merespon digitalisasi,” ujarnya.
Menurut dia, keberadaan BPR/ BPRS lebih dekat dengan masyarakat, memiliki prosedur pelayanan yang sederhana, mengutamakan pendekatan personal, dan fleksibilitas pola dan model pinjaman, sehingga, membuatnya mampu eksis dan tumbuh bersama industri perbankan lain.
Dalam kesempatan sama, Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aman Santosa mengatakan, pihaknya telah memberikan izin BPR/ BPRS untuk melangsungkan IPO di pasar modal Indonesia, dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
“Terkait dengan IPO atau Go Public BPR. Ke depan sudah di izinkan, tentu ada syaratnya, prinsipnya sudah dulu BPR tak bisa KUR. Kini bisa, dan ada rekomen dari OJK,” sebutnya.
Ia mengungkap, saat ini anggota BPR/ BPRS Perbarindo berjumlah lebih dari 1.500, yang memiliki 24 Dewan Pengurus Daerah (DPD) di tingkat Provinsi, dan 48 Dewan Pengurus Komisariat (DPK) di tingkat Kabupaten/ Kota.
Sedangkan hingga Desember 2022, total aset industri BPR/ BPRS tumbuh 9,14 persen year on year (yoy) menjadi Rp 202,46 triliun, dari sebelumnya sebesar Rp185,50 triliun pada Desember 2021.
Sementara itu, penyaluran dana kredit BPR/BPRS tumbuh 11,81 persen (yoy) per Desember 2022, melebihi tingkat pertumbuhan kredit sebelum pandemi COVID-19 yang sebesar 10,85 persen (yoy).
Pada awal berdirinya, BPR/ BPRS merupakan perbankan yang tingkat jangkauannya antara desa hingga kecamatan, akhirnya, seiring terbitnya peraturan baru melalui UU P2SK, BPR/ BPRS bertransformasi bisa bergerak hingga tingkat provinsi.
BPR sudah terdapat di 15 Provinsi di seluruh Indonesia, baik itu mandiri ataupun hasil merger, dan boleh memiliki kantor cabang, yang sebelumnya BPR tidak boleh memiliki kantor cabang.
Hingga Desember 2022, total aset industri BPR/ BPRS tumbuh 9,14 persen year on year (yoy) menjadi Rp 202,46 triliun, dari sebelumnya sebesar Rp185,50 triliun pada Desember 2021.
Sementara itu, penyaluran dana kredit BPR/BPRS tumbuh 11,81 persen (yoy) per Desember 2022, melebihi tingkat pertumbuhan kredit sebelum pandemi COVID-19 yang sebesar 10,85 persen (yoy).